SOSIALISASI DIRI
I. Pengertian Sosialisasi
Pengertian sosialisasi mengacu pada suatu proses belajar seorang individu yang akan mengubah dari seseorang yang tidak tahu menahu tentang diri dan lingkungannya menjadi lebih tahu dan memahami. Sosialisasi merupakan suatu proses di mana seseorang menghayati (mendarahdagingkan - internalize) norma-norma kelompok di mana ia hidup sehingga timbullah diri yang unik, karena pada awal kehidupan tidak ditemukan apa yang disebut dengan “diri”.
Sosialisasi diri yaitu proses seseorang memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukannya agar dapat berfungsi sebagai pemeran aktif dalam satu kedudukan atau peranan tertentu di masyarakatnya. Sosialisasi dapat juga diartikan sebagai pengalaman sosial sepanjang hidup yang memungkinkan seseorang mengembangkan potensi kemanusiaannya dan mempelajari pola-pola kebudayaan yang ada di lingkungannya.
Sosialisasi diri dibedakan menjadi dua, yaitu sosialisasi sempurna dan sosialisasi tidak sempurna. Sosialisasi sempurna terjadi bilamana pelaku atau remaja bisa memilah dan memilih mana yang baik atau yang buruk baginya, baik tindakan yang salah maupun yang benar yang harus dilakukannya. Dengan begitu, remaja tersebut dapat berkembang dengan kondisi fisik dan psikis yang baik sesuai dengan usianya. Namun, sedikit sekali di era globalisasi ini kita temui remaja yang bekembang dengan baik dan sempurna seperti tersebut di atas.
1) Jenis Sosialisasi
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
a. Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
b. Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.
2) Tipe Sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.
1. Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
2. Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyakat.
Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
II. Tata Cara Bersosialisasi yang Baik
Dalam bersosialisasi terdapat tata cara bersosialisasi yaitu proses beserta tahap-tahapnya:
1. Proses Sosialisasi Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan melalui tahap-tahap sebagai berikut.
• Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna. Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
• Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
• Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
• Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
2. Proses Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
• Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
• Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
• Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
III. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Sosialisasi
1) Latih kemampuan berkomunikasi
Melatih kemampuan berkomunikasi dengan orang lain dapat dimulai dari hal-hal yang kecil. Meskipun itu hanya dimulai dengan sebuah basa-basi seperti melempar senyuman atau bertanya kepada orang lain terlebih dahulu mengenai kabar atau pekerjaan.
Kalau ada feedback, maka akan membuat Anda terdorong untuk lebih berani berkomunikasi lebih lanjut dengan orang lain.
2) Utarakan hal-hal yang lebih teknis
Bangun komunikasi dengan mengutarakan hal-hal yang lebih teknis. Namun sebaiknya fokus pembicaraan harus jelas, obrolan tanpa arah akan membuat lawan bicara Anda bingung.
3) Perluas wawasan
Agar dapat menjalin komunikasi yang baik, sebaiknya perluas wawasan Anda. Caranya yaitu rajin membaca agar Anda lebih mudah mengetahui arah pembicaraan dan tidak salah pengertian mengenai topik pembicaraan yang dibahas.
4) Ketahui waktu untuk diam dan bicara
Anda harus tahu kapan waktu untuk bicara dan diam. Diam di sini untuk belajar mengetahui orang lain dan mengamati dulu mengenai sesuatu. Menjadi pendengar yang baik dapat membuat Anda mengetahui kapan waktu yang tepat untuk berbicara. Sehingga orang lain dapat lebih menghargai Anda.
5) Hati-hati berkomentar
Simak dengan baik ketika orang lain sedang mengajak Anda berbicara. Jika hendak berkomentar, jangan mengeluarkan pernyataan yang akan membuat orang lain merasa tidak nyaman. Pastikan bahwa komentar kita memang berisi.
Motivasi
1. Pengertian Motivasi.
Motivasi dapat diartikan sebagai dorongan dasar yang mengerakan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini ada pada diri seseorang yang mengerakan guna melakukan sesuatu sesuai dengan dorongan yang ada pada dirinya, dalam pengertian lain, motivasi dapat dipahami pula sebagai perbedaan antara bisa melakukan sesuatu dan mau melakukan sesuatu. Namun motivasi lebih dekat dengan mau melakukan tugas atau tangung jawab yang dibebanka padanya agar tujuan dapat tercapai. Motivasi pada dasarnya merupakan kekuatan baik dari dalam diri maupun dari luar diri yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan sebelumnya, sehingga tujuan yang sudah ditetapkan jauh-jauh hari dapat menghasilkan sesuatu yang maksimal. Motivasi Diri adalah sebuah kemampuan kita untuk memotivasi diri kita tanpa memerlukan bantuan orang lain. Kita memiliki kemampuan untuk mendapatkan alasan atau dorongan untuk bertindak. Proses mendapatkan dorongan bertindak ini pada dasarnya sebuah proses penyadaran akan keinginan diri sendiri yang biasanya terkubur. Setiap orang memiliki keinginan yang merupakan dorongan untuk bertindak, namun seringkali dorongan tersebut melemah karena faktor luar. Melemahnya dorongan ini bisa dilihat dari hilangnya harapan dan ketidak berdayaan.
Memotivasi diri adalah proses menghilangkan faktor yang melemahkan dorongan kita. Rasa tidak tidak berdaya dihilangkan menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Sementara harapan dimunculkan kembali dengan membangun keyakinan bahwa apa yang diinginkan bisa kita capai. Dengan demikian jika sebuah sumbat motivasi (dalam hal ini ketidak berdayaan dan tanpa harapan) dihilangkan, maka aliran energi dalam tubuh kita bisa mengalir kembali.
Membangun impian adalah salah satu cara memotivasi diri sendiri. Namun, membangun impian bisa tidak berguna jika hambatan-hambatan pada diri sendiri masih ada. Inilah mengapa banyak orang yang tidak mau bermimpi, sebab ada sebuah faktor yang masih belum diselesaikan, yaitu faktor keberdayaan. Jadi, sebaiknya sebelum kita membangun mimpi, kita harus membangin rasa percaya diri terlebih dahulu. Jika tidak, membangun impian bisa percuma. Buat apa mimpi besar jika kita tidak percaya diri untuk mencapainya?
Impian yang besar tanpa kepercayaan diri seperti mimpi di siang bolong, angan-angan, atau khayalan belaka. Mereka mengatakan ingin, tapi tidak ada tindakan yang terjadi. Hanya ada dua penyebab, harapan meraih mimpi yang tidak ada dan/atau mereka merasa tidak mampu meraih impian tersebut.
2. Membangun motivasi
Membangun motivasi bukanlah hal yang sulit bahkan sangat sulit sekalipun. Asalkan kita mau mengatur dan memanage dengan baik ritme cita-cita, anda akan mendapatkan sesuatu yang sangat dahsyat dikehidupan anda. Motivasi akan jauh lebih kuat apabila dibarengi dengan sebuah cita-cita luhur serta anda menjalankan dengan sunguh-sunguh agar terwujud dikemudian hari. Kita patut menyadari betapa pentingnya membangun motivasi di dalam setiap langkah kehidupan seseorang. Betapa pentingnya sesorang memiliki cita-cita dan mewujudkan cita-citapun membutuhkan perjuaangan yang amat berat pula dengan modal yang berat juga tapi jika semua dilakukan secara sunguh-sunguh kita akan ;ebih mudah mencapai cita-cita dan hasilnyapun akan terasa lebih menyenangkan. Ada baiknya jika kita menumbuhkan pada diri kita pencapaian target karena hal ini merupakan bagian dari menumbuhkan motivasi dalam hidup yang lebih baik. Hadapilah nilai target pribadi yang dibuat dengan memberi perhatian yang lebih tinggi ketimbang nilai target orang lain. Percayalah kalau anda berusaha dengan keras pasti selalu ada jalan yang lapang untuk mewujudkan apa yang kita inginkan. Bentuk atau konsep bisa apa saja tergantung selera, keinginan, maupun kemampuan diri kita. Semua hal telah tersedia tinggal anda yang mencoba dan mengambil keputusan. Cobalah menjadi manajer minimal bagi diri anda sendiri.
3. Tips menjaga motivasi.
Berikut ini ada beberapa tips yang dapat membantu anda dalam menjaga motivasi.
1. Mengingat moment-moment keberhasilan anda.
Ingat akan prestasi yang pernah anda buat. Ingat bagaimana and pernah menghadapi sebuah permasalahan yang berat dan anda bisa menyelesaikannya,… Maka ledakanlah beban anda. Biarkan anda kembali berfikir tenang. Anda pemenang, bukan pengecut atau pecundang.
2. Carilah orang yang dapat memberikan motivasi kepada anda.
Terkadang jika kita diam menyendiri, masalah akan terasa lebih berat. Butuh seseorang yang dapat berbagi keluh kesah tentang masalah anda. Bisa saudara, teman, shahabat atau guru/ Ustadz. Secara physikologis jika anda menceritakan masalah anda kepada orang lain, maka secara otomatis anda telah menghilangkan setengah dari beban permasalahan anda.
3. Buatlah catatan saku kecil yang dapat anda bawa kemana-mana.
Catatan ini berisi kata-kata yang bisa memotivasi anda. Ini sekedar mengingatkan anda secara terus menerus agar tetap termotivasi. Catatan ini bisa bersifat sementara. Suatu saat anda akan merasakan jenuh, maka carilah atau buatlah tulisan baru. Saya biasa menuliskan kata-kata dari Kutipan ayat Al-Qur’an, kata-kata Rosulullah SAW, para shahabat, orang-orang terkenal, atau bahkan kata-kata dari seseorang yang tidk dikenal sekalipun oleh saya.
4. Pasanglah tulisan atau gambar yang dapat memotivasi kembali diri anda diruangan anda.
Cara ini biasanya akan lebih baik karena anda akan selalu merasa diingatkan oleh gambar atau tulisan tersebut. Simak aja tulisan Sun Zu ini ”Know your Enemy…” kalimat ini begitu ringkas, hanya 3 kata. Tapi bagi seseorang yang mengalami kebuntuan dalam menghadapi masalah bisa jadi sangat membantu. Kata lainnya mungkin akan difahami menjadi ” Know your problem… & you ’ll find the solution…”
5. Bacalah biografi orang-orang yang sukses, pejuang atau hebat dan terkenal.
Membaca biografi akan memberikan motivasi tersendiri, sebab biasanya dalam biografi banyak diceritakan bahwa dibalik kesuksesan, kehabatan dan keberhasilan sesorang ternyata dia hanyalah manusia biasa seperti halnya anda yang membaca.
6. Kontemplasi
Bagi muslim biasa menyebutnya dengan bahasa mutaba’ah. Artinya merenung dan mengintropeksi diri. Memahami apa yang telah diperbuat salah atau benar.
7. Bacalah sebuah karya sastra (prosa, puisi, novel dll)
Sebuah karya sastra biasanya memberikan motivasi tersendiri. Seperti halnya jika kita membaca kalimat dari puisi Chairil Anwar ’Aku mau hidup 1000 tahun lagi…’. Shahabat Umar pun menyuruh kepada anaknya membaca syair agar anak-anaknya menjadi pemberani.
Self disclosure
Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi fokus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Ada beberapa dimensi-dimensi dari self disclosure, yang dibahas dibawah ini:
Kita akan membahas dimensi-dimensi self disclosure hanya menurut Joseph A. Devito (1986) yang menyebutkan ada 5 dimensi self-disclosure, yaitu (1) ukuran self-disclosure, (2) valensi self-disclosure, (3) kecermatan dan kejujuran, (4) maksud dan tujuan, dan (5) keakraban.
Kini kita mencoba untuk mendalami kelima dimensi tersebut, dengan melihat contohnya dalam hidup keseharian kita.
1) Ukuran/self-disclosure
Hal ini berkaitan dengan seberapa banyak jumlah informasi diri kita yang diungkapkan. Jumlah tersebut bisa dilihat berdasarkan frekuensi kita menyampaikan pesan-pesan self-disclosure atau bisa juga dengan menggunakan ukuran waktu, yakni berapa lama kita menyampaikan pesan-pesan yang mengandung self-disclosure pada keseluruhan kegiatan komunikasi kita dengan lawan komunikasi kita. Misalnya, dalam percakapan antara anak dan orang tuanya, tentu tidak sepanjang percakapan di antara keduanya yang berlangsung selama 30 menit itu bersifat self-disclosure. Mungkin hanya 10 menit saja dari waktu itu yang percakapannya menunjukkan self-disclosure, seperti saat anak menyatakan kekhawatirannya nilai rapornya jelek untuk semester ini atau tatkala di anak menyatakan tengah jatuh hati pada seseorang.
2) Valensi Self-disclosure
Hal ini berkaitan dengan kualitas self-disclosure kita: positif atau negatif. Saat kita menyampaikan siapa diri kita secara menyenangkan, penuh humor, dan menarik seperti yang dilakukan seorang tua yang berkepala botak yang menyatakan, “Inilah model rambut yang paling cocok untuk orang seusia saya.” Ini merupakan self-disclosure yang positif. Sebaliknya, apabila orang tersebut mengungkapkan dirinya dengan menyatakan, “Sudah berobat ke sana ke mari dan mencoba berbagai metode mencegah kebotakan yang ternyata bohong semua, inilah hasilnya. Ini berarti self-disclosure negatif. Dampak dari self-disclosure yang berbeda itu tentu saja akan berbeda pula, baik pada orang yang mengungkapkan dirinya maupun pada lawan komunikasinya.
3) Kecermatan dan Kejujuran
Kecermatan dalam self-disclosure yang kita lakukan akan sangat ditentukan oleh kemampuan kita mengetahui atau mengenal diri kita sendiri. Apabila kita mengenal dengan baik diri kita maka kita akan mampu melakukan self-disclosure dengan cermat. Bagaimana kita akan bisa menyatakan bahwa kita ini termasuk orang yang bodoh apabila kita sendiri tidak mengetahui sejauh mana kebodohan kita itu dan tidak bisa juga merumuskan apa yang disebut pandai itu. Di samping itu, kejujuran merupakan hal yang penting yang akan mempengaruhi self-disclosure kita. Oleh karena kita mengemukakan apa yang kita ketahui maka kita memiliki pilihan, seperti menyatakan secara jujur, dengan dibungkus kebohongan, melebih-lebihkan atau cukup rinci bagian-bagian yang kita anggap perlu. Untuk hal-hal yang bersifat pribadi, banyak orang memilih untuk berbohong atau melebih-lebihkan. Namun, self-disclosure yang kita lakukan akan bergantung pada kejujuran kita. Misalnya, kita bisa melihat perilaku orang yang hendak meminjam uang. Biasanya orang yang hendak berutang mengungkapkan permasalahan pribadinya seperti tak memiliki uang untuk belanja besok hari, anaknya sakit atau biaya sekolah anaknya. Sering pula kemudian self-disclosure dalam wujud penderitaan itu dilebih-lebihkan untuk memancing iba orang yang akan dipinjami.
4) Maksud dan Tujuan
Dalam melakukan self-disclosure, salah satu hal yang kita pertimbangkan adalah maksud atau tujuannya. Tidak mungkin orang tiba-tiba menyatakan dirinya apabila tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Setidaknya, seperti dalam Kisah Ica, untuk mengurangi rasa bersalah atau untuk mengungkapkan perasaan. Inilah yang populer disebut sebagai curhat itu. Kita mengungkapkan diri kita dengan tujuan tertentu. Oleh karena menyadari adanya maksud dan tujuan self-disclosure itu maka kita pun melakukan kontrol atas self-disclosure yang kita lakukan. Orang yang melebih-lebihkan atau berbohong dalam melakukan self-disclosure pada satu sisi bisa dipandang sebagai salah satu bentuk kontrol supaya self-disclosure-nya mencapai maksud atau tujuan yang diinginkannya.
5) Keakraban
Seperti yang dikemukakan Fisher (1986:261-262), keakraban merupakan salah satu hal yang serta kaitannya dengan komunikasi self-disclosure. Apa yang diungkapkan itu bisa saja hal-hal yang sifatnya pribadi atau intim misalnya mengenai perasaan kita, tetapi bisa juga mengenai hal-hal yang sifatnya umum, seperti pandangan kita terhadap situasi politik mutakhir di tanah air atau bisa saja antara hal yang intim/pribadi dan hal yang impersonal publik.
Berkenaan dengan dimensi self-disclosure yang disebut terakhir, kita bisa mengacu pada apa yang dinamakan Struktur Kepribadian Pete yang dikembangkan Irwin Altman dan Dalmas Taylor dengan Teori Penetrasi Sosial-nya (lihat, Griffin, 2003:134). Dalam Struktur Kepribadian Pete ini, digambarkan kepribadian manusia itu seperti bawang, yang memiliki lapisan-lapisan. Setiap lapisan itu menunjukkan derajat keakraban orang yang menjalin relasi atau berkomunikasi
kerangka Teori Penetrasi Sosial – kita menjalin hubungan dengan orang lain. Misalnya, pada tahap awal kita berbincang-bincang soal yang sifatnya umum saja. Kita bicara soal perkuliahan yang kita ikuti. Bisa juga berbincang-bincang soal selera makanan kita. Di sini kita hanya berbicara pada lapisan pinggiran dari bawang tadi yang disebut periferal. Makin lama akan makin masuk ke lapisan berikutnya. Kita mulai berbicara mengenai keyakinan agama kita, aspirasi dan tujuan hidup kita, akhirnya konsep diri kita sebagai lapis terdalam “bawang” kepribadian itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa self-disclosure tidak berlangsung secara tiba-tiba. Tidak seluruh informasi yang kita sampaikan berisikan informasi yang sifatnya pribadi. Bisa saja bercampur baur dengan informasi yang bersifat umum atau berada pada tataran periferal.
Dalam konteks ini berarti kita sudah mulai membicarakan soal kedalaman dan keluasan self-disclosure. Sejauh mana kedalaman dalam self-disclosure itu akan ditentukan oleh derajat keakraban kita dengan lawan komunikasi. Makin akrab kita dengannya maka akan makin dalam self-disclosure-nya. Selain itu, akan makin luas juga cakupan bahasan yang kita komunikasikan melalui self-disclosure itu. Ini merupakan hal yang logis. Bagaimana kita mau berbincang-bincang mengenai lapisan terdalam dari diri kita apabila kita tidak merasa memiliki hubungan yang akrab dengan lawan komunikasi kita. Apabila kita tidak akrab dengan seseorang, sebutlah dengan orang yang baru kita kenal di dalam bis maka kita akan berbincang mengenai lapisan terluar “bawang” tadi.
Begitu juga halnya dengan upaya kita membangun keakraban maka akan menuntut kita untuk berbicara mengenai diri kita. Pada awalnya tidak menyentuh lapisan terdalam melainkan lapisan yang berada agak di luar. Misalnya, kita berbicara tentang makanan yang kita sukai atau model dan warna pakaian yang digemari. Makin lama kita akan makin membuka diri apabila lawan komunikasi kita pun memberikan respons yang baik dengan juga turut membuka dirinya.
Yup, itu tadi tentang dimensi-dimensi self disclosure, lalu kita juga akan membahas
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi self disclosure.
Menurut Joseph A. Devito adalah sebagai berikut:
• Efek Diadik
Pada bahasan di atas sudah kita tegaskan bahwa self-disclosure itu bersifat timbal balik. Oleh karena itu, keterbukaan diri kita yang ditanggapi dengan keterbukaan lawan komunikasi yang membuat interaksi antara kita dan lawan komunikasi bisa berlangsung. Keterbukaan diri kita mendorong lawan komunikasi kita dalam komunikasi atau interaksi di antara dua orang (dyad) untuk membuka diri juga. Inilah yang dinamakan efek diadik itu
• Ukuran Khalayak
Tadi juga kita sudah membahas, self-disclosure itu merupakan salah satu karakteristik komunikasi antarpribadi. Oleh karena itu, self-disclosure lebih besar kemungkinannya terjadi dalam komunikasi dengan khalayak kecil, misalnya dalam komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok kecil. Alasannya sederhana saja. Jika khalayak komunikasi itu besar jumlahnya maka kita akan sulit mengontrol dan menerima umpan balik dari lawan komunikasi kita. Apabila khalayaknya kecil saja maka kita bisa mengontrol situasi komunikasi dan bisa melihat umpan balik itu. Apabila lawan komunikasi kita memberikan respons yang baik terhadap self-disclosure kita, dengan melakukan self-disclosure juga maka proses komunikasi yang menyingkapkan diri kita itu akan terus berlangsung.
• Topik Bahasan
Kita ingat kembali lapisan bawang tadi. Pada awalnya orang akan selalu berbicara hal-hal yang umum saja. Makin akrab maka akan makin mendalam topik pembicaraan kita. Tidak mungkin kita berbicara soal-soal yang sangat pribadi, misalnya kehidupan seksual kita, pada orang yang baru kita kenal atau orang yang tidak kita akrabi. Kita akan lebih memilih topik percakapan yang umum, seperti soal cuaca, politik secara umum, kondisi keuangan negara atau kondisi sosial.
• Valensi
Ini terkait dengan sifat positif atau negatif self-disclosure. Pada umumnya, manusia cenderung lebih menyukai valensi positif atau self-disclosure positif dibandingkan dengan self-disclosure negatif. Apalagi apabila lawan komunikasi kita bukanlah orang yang kita akrabi betul. Namun, apabila lawan komunikasi kita itu adalah orang yang sudah kita akrabi betul maka self-disclosure negatif bisa saja dilakukan.
• Jenis Kelamin
Wanita lebih terbuka dibandingkan dengan pria. Bisa saja ungkapan tersebut merupakan ungkapan stereotipikal. Namun, beberapa penelitian menunjukkan ternyata wanita memang lebih terbuka dibandingkan dengan pria. Meski bukan berarti pria juga tidak melakukan self-disclosure. Bedanya, apabila wanita mengungkapkan dirinya pada orang yang dia sukai maka pria mengungkapkan dirinya pada orang yang dipercayainya.
• Ras, Nasionalitas, dan Usia
Ini juga bisa saja dipandang sebagai bentuk stereotip atas ras, nasionalitas, dan usia. Namun, kenyataan menunjukkan memang ada ras-ras tertentu yang lebih sering melakukan self-disclosure dibandingkan dengan ras lainnya. Misalnya kulit putih Amerika lebih sering melakukan self-disclosure dibandingkan dengan orang negro. Begitu juga dengan usia, self-disclosure lebih banyak dilakukan oleh pasangan yang berusia antara 17-50 tahun dibandingkan dengan orang yang lebih muda atau lebih tua.
• Mitra dalam Hubungan
Dengan mengingat tingkat keakraban sebagai penentu kedalaman self-disclosure maka lawan komunikasi atau mitra dalam hubungan akan menentukan self-disclosure itu. Kita melakukan self-disclosure kepada mereka yang kita anggap sebagai orang yang dekat misalnya suami/istri, teman dekat atau sesama anggota keluarga. Di samping itu, kita juga akan memandang bagaimana respon mereka. Apabila kita pandang mereka itu orang yang hangat dan penuh perhatian maka kita akan melakukan self-disclosure, apabila sebaliknya yang terjadi maka kita akan lebih memilih untuk menutup diri.
Setelah kita tahu tentang dimensi dan juga faktor-faktor yang mempengaruhi self disclosure, kita juga akan membahas tentang berbagai fungsi dari self disclosure itu.
Self disclosure memiliki berbagai fungsi yang kesemuanya menunjukan bahwa self disclosure sangat penting sebagai perilaku yang berguna bagi keberhasilan komunikasi antarpribadi. Devito mengatakan bahwa self disclosure memiliki lima fungsi :
• Memberi pengetahuan tentang diri sendiri (self)
Kita tidak mengenal diri kita sendiri seluruhnya, jika kita tidak melakukan self disclosure dengan orang lain. Dengan penyingkapan diri, kita memperoleh perspektif baru tentang diri kita sendiri, pengertian yang lebih mendalam tentang perilaku kita sendiri.
• Memberi kemampuan untuk menanggulangi masalah
Meningkatkan kemampuan untuk menghadapi masalah kita, khususnya kesalahan kita, seringkali datang melalui self disclosure dan kemudian dukungan, kita akan berada dalam posisi yang lebih baik untuk melihat respons positif kepada kita dan kemungkinan besar oleh berkembangnya konsep diri yang positif
• Sebagai pelepasan energi
Menyimpan rahasia pribadi dan tidak menampakannya kepada orang lain menghabiskan banyak energi dan membuat kita kehabisan energi untuk hal lainnya.
• Meningkatkan efektifitas komunikasi
Self disclosure juga membantu dalam meningkatkan efisiensi komunikasi kita akan lebih mengerti apa pesan yang dimaksudkan seseorang jika kita mengetahui orang tersebut dengan baik. Self disclosure adalah kondisi esensial untuk mengetahui tentang orang lain.
• Untuk membuat hubungan menjadi penuh arti
self disclosure diperlukan jika hubungan yang penuh arti antara dua orang akan dibentuk. Tanpa self disclosure, hubungan yang penuh arti kelihatan mustahil untuk berkembang. Memang benar bahwa suatu hubungan yang biasa saja terjalin selam 30 atau 40 tahun tanpa self disclosure. Sejumlah hubungan perkawinan berlangsung seperti ini. Contoh lain : hubungan antara tetangga yang tidak akrab dalam satu blok perumahan, hubungan antara satu buruh dan buruh lainnya dalam sebuah pabrik besar. Hubungan yang penuh arti ditandai oleh keterbukaan dan kejujuran antara satu pihak dengan pihak lainnya .
Oke teman-teman, sampai disini dulu kita membahas tentang self disclosure. Semoga bermanfaat bagi kita semua………..Amiiiiiiiin.
DAFTAR RUJUKAN:
http://massofa.wordpress.com/category/psikologi
http://kuliah.dagdigdug.com/2008/06/14/memahami-hubungan-antarpribadi
Minggu, 31 Oktober 2010
bimbingan pribadi sosial (sosialisasi diri)
Diposting oleh Bimbingan Konseling di 14.05
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar